Ketua PMII Kabupaten Serang Soroti Sejumlah KUHAP

Detikrakyat.com
Selasa, 18 November 2025, 17.21.00 WIB Last Updated 2025-11-18T10:26:42Z

 


Serang — Sejumlah pasal dalam KUHAP baru kembali menuai sorotan setelah Ketua Cabang PC PMII Kabupaten Serang menilai beberapa ketentuan di dalamnya berpotensi memperluas tindakan koersif aparat penegak hukum tanpa kontrol yang memadai. Pasal-pasal yang disoroti meliputi Pasal 1 ayat 34, Pasal 124, Pasal 132A, Pasal 112A, serta Pasal 5 yang dinilai menyimpan persoalan serius terkait perlindungan hak warga negara.


Menurut penulis yang juga Ketua Umum PC PMII Kabupaten Serang yang dimintai pandangan, lima pasal tersebut menunjukkan pola umum: negara diberi lebih banyak kewenangan intrusif, sementara mekanisme pengawasan melemah.

“KUHAP seharusnya menjadi pagar pelindung warga dari kesewenang-wenangan. Tapi pasal-pasal ini justru membuat pagar itu semakin tipis,” ujar Refal.


Pasal 1 Ayat 34: Definisi Upaya Paksa yang Dinilai Terlalu Luas


Pasal 1 ayat 34 mendefinisikan upaya paksa mencakup penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penyadapan, pemblokiran, dan larangan bepergian. Refal menilai definisi ini memasukkan tindakan yang seharusnya eksepsional seperti penyadapan dan pemblokiran ke dalam kategori tindakan rutin.

“Ketika penyadapan dan pemblokiran langsung dimasukkan dalam definisi dasar tanpa prasyarat ketat, itu bukan hanya definisi teknis itu perubahan paradigma kekuasaan,” katanya.


Pasal 124: Kewenangan Upaya Paksa Tanpa Penguatan Kontrol Hakim


Pasal 124 mengatur mekanisme penggunaan upaya paksa, namun dinilai tidak mempertegas peran hakim sebagai pengawas utama. Menurut Refal, absennya kewajiban izin hakim untuk tindakan paling intrusif merupakan celah besar.

“Pasal 124 seharusnya memperjelas posisi hakim sebagai gerbang pengaman hak warga. Jika hakim dikesampingkan, upaya paksa menjadi pedang tanpa sarung,” paparnya.


Pasal 132A: Pemblokiran Aset Disorot sebagai Potensi Tekanan Aparat


Pasal 132A memberi kewenangan pemblokiran rekening, harta, dan informasi digital. Namun, rumusan relevansi pemblokiran dengan tindak pidana dianggap lemah sehingga berisiko dipakai sebagai alat tekanan.

“Pemblokiran aset tanpa syarat relevansi yang kuat adalah bentuk penghukuman sebelum putusan. Itu bisa dipakai untuk menekan seseorang secara ekonomi,” tegas Refal.

Ia menyebut pasal ini sebagai salah satu yang paling rawan disalahgunakan.


Pasal 112A: Penyadapan Tanpa Kewajiban Izin Hakim yang Tegas


Ketentuan mengenai penyadapan dalam Pasal 112A dinilai tidak cukup jelas karena menyerahkan mekanisme perizinan kepada undang-undang lain. Menurut penulis, hal itu berpotensi mengaburkan kontrol yudisial.

“Penyadapan adalah tindakan paling invasif. Tapi KUHAP baru tidak mewajibkan izin hakim secara eksplisit. Celah seperti ini bisa berubah menjadi alat pengawasan yang tidak terkendali,” ujarnya.


Pasal 5: Pondasi KUHAP yang Dinilai Tidak Memperkuat Hak Tersangka


Pasal 5, sebagai ketentuan umum, seharusnya menegaskan prinsip-prinsip HAM dalam proses pidana. Namun penulis menilai pasal tersebut justru tidak menyebut secara tegas hak tersangka dan asas fair trial.

“Pasal 5 ini mestinya menjadi deklarasi perlindungan hak-hak dasar warga. Kalau pondasinya kabur, seluruh bangunan KUHAP akan ikut lemah,” ungkapnya.


Seruan Penolakan terkait Pengesahan RUU KUHAP

Refal menilai bahwa kelima pasal tersebut menggambarkan arah KUHAP baru yang lebih memperkuat kekuasaan negara daripada memperluas perlindungan warga negara.

“Jika KUHAP yang baru disahkan begitu saja, kita sedang mengundang era baru penegakan hukum yang lebih represif. Ada banyak celah yang bisa jadi legitimasi tindakan sewenang-wenang dan #semuabisakena,” tutupnya.


Menurutnya, Penolakan sejumlah pasal tersebut harus dilakukan sebelum tagar #semuabisakena benar benar terjadi.  KUHAP seharusnya benar-benar menjadi instrumen perlindungan, bukan instrumen tekanan.


(Red)

Komentar

Tampilkan

  • Ketua PMII Kabupaten Serang Soroti Sejumlah KUHAP
  • 0

Terkini

Topik Populer