Serang, detikrakyat.com, -- Bagi mahasiswa, gelar Pahlawan Nasional adalah lebih dari sekadar penghargaan simbolis, itu adalah legitimasi yang mengandung nilai moral dan sejarah. Ketika nama Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo diusulkan sebagai penerima gelar ini, tak heran jika masyarakat terutama mahasiswa mempertanyakan apakah kita benar-benar menghargai jasa, atau justru melupakan kesalahan?
Soeharto dan Sarwo Edhie adalah sosok yang tak asing dalam sejarah bangsa ini. Di balik kisah pembangunan dan stabilitas nasional, terdapat jejak darah, ketakutan, dan penindasan yang sulit dipadamkan dari ingatan rakyat. Sarwo Edhie Wibowo, yang menjabat sebagai Komandan RPKAD, berperan penting dalam operasi militer setelah 1965 yang menyebabkan pembunuhan massal terhadap ratusan ribu rakyat yang tak bersalah di berbagai wilayah. Di sisi lain, Soeharto, yang kemudian mengambil alih kekuasaan, meneruskan lembar kelam itu dengan mendirikan rezim Orde Baru yang merintangi kebebasan berpikir, membungkam suara rakyat, dan menguras kekayaan negara melalui tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bagaimana mungkin suatu bangsa yang lahir dari semangat kemerdekaan dan darah para pahlawan melawan penindasan, kini justru mengangkat para penindas sebagai pahlawan? Apakah makna pahlawan telah bergeser dari mereka yang berjuang untuk rakyat, menjadi mereka yang menghancurkan rakyat demi stabilitas?
Saya berpandangan sepert ini : Jika pemberian gelar ini lebih dari sekadar pengakuan, itu merupakan pengkhianatan terhadap sejarah dan nurani bangsa. Ini adalah bentuk pemutihan sejarah yang menghapus jejak luka dari para korban tragedi 1965, kekerasan di Tanjung Priok, Santa Cruz, Marsinah, dan ribuan aktivis yang ditangkap tanpa proses hukum di bawah intimidasi Orde Baru. Presidium Koalisi Mahasiswa Demokrasi Indonesia
Mahasiswa bukan menolak sejarah, tetapi menolak kebohongan yang disajikan sebagai kebanggaan. Pahlawan sejati bukanlah mereka yang mendirikan kekuasaan dengan darah rakyat, melainkan yang melawan ketidakadilan dengan keberanian dan integritas.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak mengabaikan sejarahnya, tetapi berani mengakui luka dan menolak rekonsiliasi yang semu. Mengangkat Soeharto dan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional berarti menghapus garis perbedaan antara pelaku dan korban, antara tindakan kejahatan dan jasa, antara kebenaran dan kepalsuan., Ucap Dedi Setiawan
Mahasiswa berpihak pada sejarah yang sebenarnya, bahwa pembangunan tak bisa menebus darah yang tumpah, dan stabilitas tidak dapat menggantikan keadilan.
Selama ingatan ini masih ada, selama kampus tetap jadi ruang berpikir yang bebas, kami akan menolak semua bentuk pemutihan sejarah yang mengkhianati kebenaran. Tutup
(Tim)


