Banten — Sejumlah mahasiswa dari Jepang, Thailand, Filipina, dan Indonesia berkolaborasi membahas isu global mengenai Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) melalui program International Student Mobility (ISM). Kegiatan ini melibatkan mahasiswa dari Krek University, Solo University (Filipina), perwakilan kampus dari Jepang dan Thailand, serta mahasiswa dari UIN Banten dan STAI KH Abdul Kabier (STAIKHA).
Program ini menjadi sorotan karena menghadirkan diskusi lintas budaya yang mengungkap bagaimana kesetaraan gender, akses bagi penyandang disabilitas, dan inklusi sosial diterapkan di berbagai negara.
Kolaborasi Internasional Bahas Pendidikan Inklusif
Melalui serangkaian diskusi, presentasi, dan studi kasus, para mahasiswa membandingkan kondisi GEDSI di negara masing-masing.
Perwakilan Jepang menjelaskan bahwa sistem pendidikan mereka sudah cukup responsif terhadap isu gender dan disabilitas, namun masih menghadapi tantangan seperti tekanan sosial terhadap peran gender tradisional serta masalah kesehatan mental mahasiswa.
Dari Thailand, mahasiswa mengungkap bahwa negaranya dikenal cukup terbuka terhadap keberagaman identitas gender, namun ketimpangan fasilitas pendidikan terutama di wilayah pedesaan masih menjadi pekerjaan rumah.
Mahasiswa Filipina memaparkan bahwa pemerintah negara mereka telah memiliki aturan progresif tentang perlindungan perempuan. Meski demikian, kekerasan berbasis gender dan keterbatasan fasilitas bagi penyandang disabilitas masih ditemukan di beberapa daerah.
Sementara itu, delegasi Indonesia dari UIN Banten dan STAIKHA menyoroti bahwa meski regulasi pemerintah tentang GEDSI terbilang kuat, implementasi di sekolah, pesantren, dan kampus masih jauh dari ideal. Masalah aksesibilitas disabilitas dan bias gender menjadi tantangan terbesar.
Tantangan Bersama Negara-negara Peserta
Dalam forum diskusi, peserta ISM menemukan lima tantangan global yang ternyata serupa dialami banyak negara, di antaranya:
• kuatnya budaya patriarki,
• minimnya fasilitas disabilitas,
• kurangnya pelatihan guru terkait pendidikan inklusif,
• stigma terhadap kelompok minoritas gender,
• serta ketimpangan ekonomi yang berdampak pada akses pendidikan.
Meski demikian, mahasiswa juga melihat peluang besar dalam penguatan GEDSI, terutama melalui kebijakan pemerintah yang semakin terbuka, teknologi pendidikan, dan kampanye sosial berbasis media digital.
Rumusan Solusi untuk Masa Depan GEDSI
Dalam penutupan kegiatan, mahasiswa dari empat negara tersebut merumuskan beberapa rekomendasi global, seperti:
• integrasi modul GEDSI dalam setiap program pertukaran pelajar,
• standarisasi fasilitas kampus ramah disabilitas,
• penelitian kolaboratif antarnegara,
• pembentukan komunitas digital GEDSI internasional,
• serta penyusunan kebijakan kampus berbasis pemetaan kebutuhan mahasiswa.
Mereka sepakat bahwa ISM bukan hanya program akademik, tetapi sarana membangun kepedulian sosial lintas negara.
Arah Baru Pendidikan Inklusif Dunia
Melalui kerja sama ini, para mahasiswa menegaskan bahwa mobilitas internasional dapat menjadi katalisator penting dalam memperkuat literasi global tentang inklusivitas. Kegiatan ini juga menjadi bukti bahwa perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam membangun masa depan yang lebih adil dan ramah bagi semua kelompok, tanpa memandang gender, disabilitas, maupun latar sosial.
“International Student Mobility bukan sekadar pertukaran pelajar, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih setara,” ujar salah satu peserta dari Indonesia.
Program ini diharapkan dapat terus berlanjut dan dikembangkan agar mampu melahirkan generasi muda yang sensitif, peduli, dan kompeten dalam menghadapi isu-isu inklusivitas global.
(Red)

.jpg)
