Jakarta - Di balik berkibarnya Sang Saka Merah Putih dan berkumandangnya lagu Indonesia Raya setiap pagi di sekolah-sekolah, tersimpan kisah getir seorang seniman bangsa: Wage Rudolf Supratman. Lelaki sederhana kelahiran 1903 ini bukan hanya pencipta lagu kebangsaan, melainkan simbol pengorbanan tanpa pamrih pahlawan tanpa panggung, yang mengorbankan segalanya demi menyatukan jiwa Indonesia dalam tiga kata: Indonesia Raya Merdeka Merdeka!
I. Lahirnya Nada Kemerdekaan (1928–1930)
Pada 28 Oktober 1928, dalam sebuah momentum bersejarah — Kongres Pemuda II di Batavia — suasana hening ketika W.R. Supratman berdiri dengan biolanya. Ia memperdengarkan sebuah melodi yang kelak menjadi penanda lahirnya bangsa: Indonesia Raya.
Tidak ada lirik yang dinyanyikan malam itu — hanya nada, namun cukup untuk menyalakan api nasionalisme di dada setiap pemuda Indonesia.
Namun, alunan suci itu justru mengguncang kekuasaan kolonial. Bagi pemerintah Hindia Belanda, lagu ini bukan sekadar musik, melainkan senjata paling berbahaya peluru yang tak terlihat, tapi mampu menembus benteng ketakutan penjajahan.
Sejak saat itu, “Indonesia Raya” dilarang keras dinyanyikan di ruang publik. Semua partitur dan rekaman disita, dan nama W.R. Supratman masuk daftar hitam dinas intelijen politik Belanda (PID). Ia mulai diburu seperti seorang kriminal, padahal yang ia ciptakan hanyalah lagu untuk negerinya sendiri.
II. Hidup dalam Pelarian dan Kemiskinan (1930-an)
W.R. Supratman menjalani hidupnya seperti bayangan selalu berpindah dari satu kota ke kota lain, menghindari mata-mata kolonial. Dari seorang wartawan, guru, hingga pemimpin orkes, ia tak pernah lepas dari tekanan dan ancaman penangkapan.
Pemerintah kolonial menutup semua akses untuknya: tak boleh bekerja, tak boleh tampil, bahkan tak boleh berkarya. Dalam kesunyian itu, ia hidup serba kekurangan. Makan tak teratur, pakaian lusuh, tubuhnya mulai digerogoti penyakit paru-paru.
Namun, semangatnya tak pernah padam. W.R. Supratman terus menulis lagu-lagu perjuangan seperti Matahari Terbit dan Sorak-Sorak Bergembira, lagu-lagu yang mengandung pesan persatuan dan harapan, meski di bawah bayang-bayang ancaman kolonial.
III. Surabaya, 1938: Penangkapan dan Akhir yang Sunyi
Awal tahun 1938, Belanda akhirnya berhasil menangkap W.R. Supratman di Surabaya. Tuduhannya sederhana tapi mematikan: ia memimpin orkes yang menyanyikan lagu “Matahari Terbit” lagu yang dianggap provokatif dan menggugat kolonialisme.
Sakit parah, ia sempat dipenjara, lalu dilepaskan karena tubuhnya sudah terlalu lemah untuk bertahan. Ia kembali ke rumah kakaknya di Tambak Sari, Surabaya, dengan kondisi memprihatinkan. Di rumah sederhana itu, di atas tikar bambu, tanpa perawatan layak, W.R. Supratman menghembuskan napas terakhir pada 17 Agustus 1938, tujuh tahun sebelum Indonesia benar-benar merdeka.
Ia wafat tanpa harta, tanpa penghargaan, tanpa tanda jasa. Hanya biola usang, selembar partitur “Indonesia Raya”, dan semangat yang tak pernah padam untuk tanah air tercinta.
Warisan Abadi Sang Komponis
Kini, setiap kali lagu Indonesia Raya dikumandangkan, seharusnya kita tak hanya berdiri tegak, tapi juga menundukkan kepala mengenang sang pencipta yang meninggalkan dunia dalam kesunyian. W.R. Supratman tak pernah menikmati kebebasan yang ia nyanyikan, tapi darah, air mata, dan nadanya telah menjadi roh kemerdekaan bangsa.
Ia gugur dalam kemiskinan, namun abadi dalam kemuliaan. Karena dari tangan dan hati seorang musisi miskin, lahirlah simbol persatuan dan harga diri Indonesia.
Sumber : kompas.com
#WRSupratman #IndonesiaRaya #PahlawanTanpaTandaJasa #SejarahIndonesia #SumpahPemuda #LaguKebangsaan #PerjuanganBangsa


