Dugaan Gugatan Tanah Palsu oleh PT. Bagus Jaya Abadi di PN Sorong, Sebuah Analisis Hukum

Detikrakyat.com
Rabu, 03 September 2025, 10.44.00 WIB Last Updated 2025-09-03T04:39:36Z


Jakarta, – Sebuah kasus perdata didaftarkan ke Pengadilan Negeri Sorong, yang teregister dengan nomor perkara perdata: 57/Pdt.G/2025/PN Sorong. Kasus ini melibatkan sengketa tanah di Distrik Tampagaram, Kota Sorong, Papua Barat Daya, antara PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) sebagai penggugat melawan Samuel Hamonangan Sitorus, dkk.

PT. BJA adalah sebuah perusahaan kayu di Papua Barat Daya milik Paulus George Hung (alias Ting-ting Ho alias Mr. Ching), warga negara Malaysia. Penggugat diwakili kuasa hukumnya, Albert Fransstio, S.H. Sementara itu, Samuel Hamonangan Sitorus, pemilik obyek yang disengketakan diwakili oleh kuasa hukumnya, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H.

Penggugat mengklaim kepemilikan atas sebidang tanah yang diperoleh dari pemilik tanah adat setempat bernama Willem Buratehi/Bewela, tahun 2013. Tergugat membantah klaim ini dengan menyatakan bahwa pihaknya telah menguasai tanah tersebut secara sah sejak tahun 2009 yang diperoleh dari pemilik tanah adat yang sah, bernama Robeka Bewela yang adalah ibu dari Willem Buratehi/Bewela. Tergugat juga menilai bahwa penggugat melakukan klaim melalui cara manipulatif dan berkolusi dengan para pejabat korup di lingkungan Pemerintah Kota Sorong dan Kantor Pertanahan setempat.

*Identifikasi Permasalahan*

Berdasarkan berkas gugatan yang diajukan penggugat ke pengadilan, dapat diidentifikasi persoalan hukum yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut.

Pertama, terkait keabsahan kedudukan hukum _(Rechtspersoon)._ Dokumen pelepasan tanah yang dijadikan dasar klaim kepemilikan penggugat ditujukan kepada seorang individu, yakni Paulus George Hung alias Ting-ting Ho alias Mr. Ching, bukan kepada PT. BJA. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah PT. BJA memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan?

Kedua, gugatan penggugat dinilai tidak jelas _(Obscuur Libel)._ Gugatan penggugat kurang jelas mengenai objek sengketa, luasan wilayah yang berbeda-beda antara dokumen satu dengan dokumen lainnya yang disertakan sebagai data pendukung klaim kepemilikan, dan dokumen kepemilikan yang telah dicabut oleh pihak yang melepaskan tanah tersebut (Willem Buratehi/Bewela) kepada Mr. Ching. Hal ini melanggar asas kekhususan yang diwajibkan dalam hukum acara perdata Indonesia.

Ketiga, pihak tergugat yang digugat oleh penggugat tidak lengkap alias _Error in Persona._ Semestinya, penggugat harus menyertakan para pemangku kepentingan utama seperti pemilik tanah awal (Willem Buratehi/Bewela) yang memindahtangankan obyek yang disengketakan, pemerintah daerah (Walikota Sorong), dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai tergugat atau turut tergugat. Kelalaian ini melemahkan kelengkapan proses ajudikasi.

Keempat, kredibilitas saksi yang dihadirkan penggugat sangat diragukan alias saksi abal-abal. Penggugat hanya menghadirkan dua orang buruh kontrak sebagai saksi. Kesaksian mereka terbatas pada kegiatan operasional dan tidak memiliki pengetahuan substantif tentang status kepemilikan, sejarah, atau pengalihan hak atas tanah.

Kelima, potensi penyalahgunaan proses hukum. Gugatan klaim kepemilikan ke PN Sorong menunjukkan bahwa penggugat amat patut diduga menggunakan pengadilan untuk melegitimasi perolehan tanah secara tidak sah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran etis dan memerlukan pemeriksaan yudisial berdasarkan asas itikad baik.

*Analisis Juridis*

Berdasarkan hukum Indonesia, khususnya HIR (Herzien Inlandsch Reglement), RBg (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), dan KUHPerdata, gugatan perdata yang sah harus memenuhi hal-hal berikut:


Berdasarkan kekurangan prosedural dan substantif, gugatan dapat ditolak berdasarkan Pasal 132 HIR yang mengatur tentang gugatan rekonvensi atau gugatan balik oleh tergugat terhadap penggugat. Majelis Hakim juga dapat menolak gugatan berdasarkan Pasal 118 RBg yang mengatur tentang kompetensi relatif Pengadilan Negeri, yaitu kewenangan pengadilan untuk memeriksa suatu gugatan berdasarkan wilayah hukumnya, biasanya meliputi tempat tinggal tergugat, tempat penggugat jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, atau tempat benda tetap yang disengketakan.

Mengingat kekhawatiran publik dan potensi pelanggaran etika dalam proses hukum dan penyelesaian kasus ini, pengawasan oleh Komisi Yudisial sangat diperlukan. Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan mengingat penggugat adalah oknum mafia tanah yang memiliki kekuatan finansial dan jaringan backing aparat dan pejabat, baik di tingkat daerah maupun di pusat.

Majelis hakim yang menyidangkan kasus yang dikenal sebagai “Tipu-tipu Abunawas” ini dapat saja telah bertindak benar, mengambil keputusan yang sudah seharusnya dan adil, dengan memenangkan tergugat, namun pihak penggugat hampir dipastikan akan menggunakan jalur hukum yang tersedia untuk melakukan banding. Pada tahap ini, proses hukum yang penuh intrik dan manipulasi, kolusi dan korupsi suap-menyuap hakim akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemilik tanah dan publik. Demikian juga, jika kasus ini harus bergulir hingga ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung, hal serupa juga sangat mungkin terjadi.

Kasus ini menggambarkan ketegangan antara formalisme hukum dan keadilan sosial. Lembaga peradilan harus bertindak tidak hanya sebagai penjaga prosedur tetapi juga sebagai penjaga keadilan. Jika dugaan-dugaan tersebut terbukti benar, gugatan ini merupakan upaya untuk menjadikan sistem hukum sebagai senjata untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah, sebuah praktik licik yang harus ditolak dengan tegas.

Idealnya, pengadilan di negeri ini harus menegakkan hak-hak masyarakat adat atau masyarakat setempat dan mencegah eksploitasi dan pencaplokan tanah rakyat melalui celah hukum. Pengadilan sebagai tempat mencari perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat semestinya berfungsi sebagai penjaga kehidupan masyarakat di mana kantor pengadilan itu berdomisili. Pengadilan harus diharamkan untuk dijadikan sebagai alat pemerkosa hak masyarakat yang telah turun-temurun tinggal di atas tanahnya oleh orang asing. (*)

_Penulis: Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, lulusan pasca sarjana bidang studi Global Ethics dan Applied Ethics dari tiga universitas ternama di Eropa (Birmingham University, England; Utrecht University, The Netherlands; Linkoping University, Sweden)_

Red”

Komentar

Tampilkan

  • Dugaan Gugatan Tanah Palsu oleh PT. Bagus Jaya Abadi di PN Sorong, Sebuah Analisis Hukum
  • 0

Terkini

Topik Populer