Banten, - Menurut Wikipedia, wartawan atau pewarta, atau journalist dalam bahasa Inggris, adalah orang yang melakukan pekerjaan kewartawanan dan atau tugas-tugas jurnalistik secara rutin. Dalam definisi lain, wartawan dapat dikatakan sebagai orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, baik dalam media cetak, media elektronik, maupun media daring.
Masih menurut Wikipedia, bahwa istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Istilah ini kemudian berimbas pada penamaan seputar posisi-posisi kewartawanan. Misalnya, “redaktur” menjadi “editor”.
Wartawan kampus adalah wartawan amatir yang berstatus mahasiswa dan tergabung dalam pers mahasiswa. Wartawan kampus mengelola surat kabar mahasiswa secara independen. Ketika Orde Baru pers umum tidak berani memberitakan kebenaran, pers mahasiswa menjadi media alternatif yang cukup penting.
Kini pers mahasiswa tidak seberani dulu, namun independensinya masih diakui. Pers kampus dijadikan sebagai ajang calon wartawan kampus untuk belajar mengenai jurnalistik. Perkara berani yang dulu diidentikkan dengan pers mahasiswa juga, kini tak hanya milik pers mahasiswa saja. Gerakan reformasi membuat semua pers menjadi berani dibanding pada zaman Orde baru.
Dalam menjalankan tugas kewartawanan, berbagai organisasi terkait wartawan ini dibentuk, baik berupa persatuan, forum, asosiasi, dan yang lainnya. Beberapa diantaranya adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Indonesian Tourism Journalist Association (ITJA), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Masih banyak puluhan organisasi wartawan lainnya selain yang telah disebutan tersebut.
Dikutip dari Kompas, bahwa jurnalis, wartawan, dan reporter sering dianggap sama, karena ketiganya berprofesi sebagai pencari berita. Namun, ada pula yang berpandangan bahwa jurnalis, wartawan, dan reporter merupakan tiga profesi berbeda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jurnalis diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mengumpulkan serta menulis pemberitaan, baik di media masa cetak, ataupun elektronik. Pengertian wartawan dalam KBBI adalah orang yang pekerjaannya mencari serta menyusun berita untuk kemudian dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta.
Sementara reporter dalam KBBI diartikan sebagai orang yang pekerjaannya melaporkan berita peristiwa, dan sebagainya; penyusun laporan. Secara etimologi, reporter berasal dari bahasa Inggris, to report, yang berarti melaporkan. Masih menurut Kompas, perbedaan jurnalis, wartawan, dan reporter terletak pada penggunaan istilah saja. Karena ketiganya tetap punya makna yang sama, yakni profesi pencari berita.
Berbeda perusahaan medianya, penyebutan untuk jurnalis, wartawan, dan reporter biasanya juga berbeda. Ada yang menyebutnya jurnalis, namun ada pula perusahaan media yang menyebut sang pencari berita sebagai wartawan atau reporter.
Tidak semua orang bisa dan layak menjadi jurnalis, wartawan, atau reporter. Paling tidak, untuk bisa menjadi jurnalis ada beberapa syarat yang mesti dimiliki. Diantaranya adalah memiliki kemampuan untuk menulis, punya skill komunikasi, memahami Kode Etik Jurnalistik, dan berwawasan luas.
Selain itu, seorang jurnalis juga mesti pandai bicara, peka terhadap lingkungan sekitar, berpikir kritis, berpikiran terbuka, independent, dan memahami serta menguasai teknologi. Demikian menurut Alula dalam “10 Syarat Menjadi Jurnalis yang Wajib Diketahui Calon Jurnalis” yang dimuat dalam Arkademi.
Dulu, ketika masih disebut sebagai “kuli tinta”, profesi wartawan memiliki prestise di antara profesi lain. Waktu itu -juga saat ini- selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kebebasan pers dimaknai sebagai pilar keempat demokrasi. Keren kan?
Memilih menjadi seorang jurnalis, mesti menyertainya dengan prinsip. Dalam Romeltea disebutkan bahwa prinsip jurnalistik adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Atau dasar jurnalisme yang menjadi pedoman wartawan atau media dalam bekerja.
Prinsip jurnalistik merupakan pedoman etis para wartawan yang berlaku universal. Prinsip-prinsip ini lalu dituangkan dalam kode etik jurnalistik yang dirumuskan dan ditetapkan masing-masing organisasi profesi wartawan. Di Indonesia, prinsip jurnalistik berupa kode etik ditetapkan oleh Dewan Pers.
Menurut Ethical Journalism Network, ada lima prinsip inti atau five core principle of journalism. Kelimanya adalah Kebenaran dan Akurasi atau Truth and Accuracy, Kemandirian atau Independence, Keadilan dan Ketidakberpihakan atau Fairnees and Impartiality, Kemanusiaan atau Humanity, dan Akuntabilitas atau Accountability.
Selain sebagai pilar keempat demokrasi, wartawan juga bisa berperan sebagai kontrol sosial, termasuk menjadi penyeimbang bagi pemerintahan. Penyelenggara negara tidak cukup diawasi oleh legislatif juga oleh yudikatif. Tetapi juga oleh civil society atau masyarakat. Dalam hal ini peran itu difungsikan oleh wartawan.
Kehadiran wartawan sebagai penyeimbang bagi pemerintahan merupakan bentuk kontrol agar penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pembangunan, baik di tingkat nasional maupun di level pemerintahan paling rendah yaitu desa atau kelurahan, selaras dengan rencana, regulasi, dan dikelola dengan prinsip efektif dan efisien.
Dengan pemberitaan yang objektif, wartawan bisa hadir sebagai pihak yang meluruskan bila ada yang bengkok, sebagai pengingat kembali ke tengah bila ada yang terlalu ke kanan atau ke kiri. Kemauan, kemampuan, dan keberanian untuk mengingatkan itu dalam rangka “menyampaikan kebenaran walau terasa pahit”.
Kondisi pahit itu berupa resiko yang siap dihadapi manakala aksi, gerak, dan tindakannya dianggap sebagai gangguan bagi pihak lain. Maka tak heran dalam peristiwa tertentu muncul ancaman dan intimidasi terhadap wartawan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan tugas-tugasnya..
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tidak setiap orang bisa menjadi seorang jurnalis, wartawan, atau reporter. Seorang jurnalis mesti menyertainya dengan kompetensi atau kemampuan, serta integritas, yang dijabarkan dengan kelima prinsip inti tersebut. Plus kesiapan berhadapan dengan resiko sebagai konsekuensi logis dari profesinya tersebut.
Jadi, pekerjaan seorang jurnalis itu sangat mulia. Sebagai pilar keempat demokrasi, sebagai penyeimbang bagi pemerintah, sebagai corong bagi aspirasi masyarakat, sebagai bagian dari pembela bagi kaum lemah. Dan semua itu didasari oleh prinsip-prinsip yang mencerminkan idealisme tersebut.
Tetapi, seperti halnya tabiat manusia yang secara naluriah tidak sama dan tidak selalu seragam di lingkungan mana pun, kadang muncul sifat dan sikap nyeleneh dari yang semestinya. Perilaku ini disebut sebagai oknum. Tindakan oknum tidak bisa digeneralisir sebagai sikap keseluruhan orang-orang yang tergabung dalam lingkungan tersebut.
Perilaku menyimpang dari yang seharusnya dalam suatu lembaga dan atau organisasi inilah yang disebut sebagai oknum. Oknum itu ada di lembaga pemerintahan, di lembaga swasta, juga di kalangan civil society. Bahkan oknum itu ada juga di tubuh tentara dan kepolisian. Pun di lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seperti halnya yang belakangan ini sedang viral. Seorang Menteri anggota Kabinet Merah Putih menyampaikan sebuah statement dalam sebuah acara. Dalam video yang beredar tersebut, dia menyebutkan bahwa oknum LSM dan oknum wartawan ini kerap mengganggu kepala desa dengan meminta sejumlah uang. Bahkan dia menyarankan agar polisi menertibkan dan menangkap mereka.
Kurang lebih kalimat yang keluar dari lisannya sebagai berikut : “Gini Pak Jenderal Fadil Imran. Yang paling banyak ganggu kepala desa itu 2 Pak. LSM sama wartawan bodrex”. Lanjutnya, “Tertibkan dan tangkapi saja itu Pak Polisi, LSM dan wartawan bodrex yang mengganggu aparat desa”.
Lalu, apa yang dimaksud dengan wartawan bodrex? Menurut Chevy Ganda salah seorang wartawan senior di Kota Bandung, dia mengatakan bahwa istilah wartawan bodrex muncul sekitar tahun 1980-an. Mereka ini rata-rata tidak memiliki surat kabar alias wartawan tanpa surat kabar, atau terbitnya tidak jelas. Disebut bodrex lantaran selalu beramai-ramai jika mendatangi narasumber.
Menurutnya, “Dulu kan ada iklan obat sakit kepala merk Bodrex. Di iklan itu ada yang namanya pasukan Bodrex. Kerjanya beramai-ramai. Di iklan itu kan ada slogan “Bodrex datang Bodrex menyerang”. Nah, kerja mereka seperti itu, datang dan menyerang narasumber”, demikian menurutnya sebagaimana disampaikan kepada Okezone.
Kalau kita simak dengan jernih dengan kepala dingin, sang Menteri tidak menyatakan secara gebyah-uyah atau pukul rata bahwa semua LSM dan wartawan itu sebagaimana yang dia tuduhkan. Menyertainya dengan “bodrex” itu dia maksudkan sebagai oknum. Dan oknum itu, tidak semua, tapi hanya segelintir.
Sepanggang-seperloyangan, belakangan Dedi Mulyadi yang adalah Gubernur Terpilih Provinsi Jawa Barat, akan bertindak tegas terhadap oknum ini. Menurutnya, “Kalau Bapak nanti didatangin orang, ngaku wartawan ngaku LSM, tujuannya minta duit, lapor dan akan saya tindaklanjuti,” tegas Dedi Mulyadi dalam sebuah wawancara dengan beberapa kepala sekolah.
Baik yang dimaksud oleh sang Menteri maupun yang dimaksud oleh Dedi Mulyadi, bukan seluruh LSM dan seluruh wartawan. Yang diminta Menteri untuk ditindak tegas itu adalah yang masuk kategori bodrex sebagaimana penjelasan Chevy Ganda tersebut. Yang akan ditindaklanjuti oleh Dedi Mulyadi adalah yang masuk kategori oknum tadi.
By the way, ini mesti menjadi pembelajaran bagi semua. Baik bagi sang Menteri maupun bagi yang lain. Pejabat negara sebaiknya bisa menggunakan terminology, diksi, atau istilah yang lebih soft. Sementara pihak lain bisa menjadikan peristiwa ini sebagai evaluasi untuk terus berbenah diri. Dengan begitu, semoga ajeg menjadi pilar keempat demokrasi, yang dilandasi oleh integritas dan kapasitas yang mumpuni. Wallahualam.
***