SERANG, — Proyek pembangunan saluran drainase di jalur pinggir rel kereta api Catang–Rangkasbitung kembali menuai sorotan. Pada Minggu (23/11/2025), tim media menemukan indikasi kuat bahwa pekerjaan di lapangan diduga tidak mengikuti spesifikasi teknis maupun standar operasional prosedur (SOP) yang seharusnya menjadi acuan wajib dalam pembangunan sarana publik.
Di lokasi, cor beton untuk irigasi cetak beton (U-Ditch) terlihat dituangkan langsung ke area yang masih dipenuhi air dan lumpur, tanpa proses pengeringan atau penanganan dasar tanah. Padahal, kondisi tersebut sangat berpotensi menurunkan kualitas, daya rekat, dan keawetan beton. Selain itu, posisi saluran air yang sudah dicetak tampak lebih tinggi 30–40 cm dari permukaan badan jalan, sehingga menimbulkan pertanyaan besar mengenai perencanaan dan kesesuaian desain.
Seorang mandor di lapangan mencoba menenangkan dengan menyebut bahwa kondisi demikian “tidak masalah” karena beton tetap akan mengeras. Namun ketika diminta penjelasan teknis lebih lanjut, ia justru menunjuk kepada seseorang bernama Yuda sebagai pihak yang lebih berwenang.
Ketika dihubungi melalui WhatsApp, Yuda menjawab singkat: “Wa’alaikumsalam, kita hanya tahu kerjanya saja pak. Waskita yang punya wewenang.” Jawaban tersebut memperlihatkan adanya upaya melempar tanggung jawab. Akan tetapi, ketika wartawan mendapati Yuda langsung di sebuah warung dekat proyek, ia justru menghindar, pergi begitu saja, dan kembali menyuruh awak media untuk bertanya kepada Waskita—meski posisi dan perannya di proyek itu sendiri tidak ia jelaskan.
Sikap pelaksana yang menghindar dari konfirmasi semakin menguatkan dugaan bahwa proyek ini bermasalah. Minimnya pengawasan terlihat dari metode pengerjaan yang diduga asal-asalan. Beton yang dicor di atas genangan air dan tanah becek berisiko tinggi mengalami penurunan mutu, keretakan dini, hingga kegagalan struktur. Jika benar demikian, maka hal ini jelas merugikan negara dan masyarakat sebagai pengguna manfaat proyek.
Lebih ironis lagi, papan informasi proyek (PIP) yang seharusnya wajib dipasang sesuai aturan transparansi penggunaan anggaran negara—tidak ditemukan di lokasi. Akibatnya, publik tidak mengetahui sumber anggaran, nilai proyek, pelaksana resmi, maupun masa pengerjaan.
Masyarakat berhak mendapatkan pekerjaan infrastruktur yang bermutu dari uang pajak yang mereka bayarkan. Namun fakta di lapangan menunjukkan pola kerja yang diduga tidak profesional, tak transparan, dan pelaksana lapangan yang enggan bertanggung jawab serta melemparkan nama perusahaan besar (Waskita) sebagai tameng.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi dari instansi terkait maupun Waskita sebagai pihak yang disebut oleh pelaksana proyek.
tim


