Serang, – Proyek rehabilitasi jaringan irigasi D.I. Ciujung di Kabupaten Serang yang dikerjakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian (BBWS C3), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menjadi sorotan publik.
Pasalnya, papan informasi proyek yang terpasang di lokasi hanya mencantumkan nilai kontrak sebesar Rp 58.762.951.400,- tanpa menuliskan nama perusahaan pelaksana (kontraktor) maupun konsultan pengawas.
Kondisi ini diduga melanggar aturan resmi tentang keterbukaan informasi publik dalam setiap pelaksanaan proyek pemerintah.
Sesuai Peraturan Menteri PUPR Nomor 8 Tahun 2023 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, Pasal 16 ayat (1) huruf (e) menegaskan:
“Setiap penyedia jasa wajib memasang papan nama proyek yang memuat sekurang-kurangnya nama dan lokasi kegiatan, nomor dan tanggal kontrak, nilai kontrak, jangka waktu pelaksanaan, nama penyedia jasa (kontraktor) dan konsultan pengawas, serta sumber dana.”
Artinya, tidak dicantumkannya nama pelaksana dan pengawas proyek merupakan pelanggaran administratif yang menyalahi prinsip transparansi.
Papan proyek adalah sarana informasi publik agar masyarakat mengetahui siapa pelaksana kegiatan yang menggunakan uang negara.
Berdasarkan Peraturan LKPP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Sanksi Daftar Hitam, dijelaskan:
“Penyedia jasa yang tidak melaksanakan kewajiban administratif sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran, penundaan pembayaran, hingga pencantuman dalam daftar hitam (blacklist).”
Ketidaklengkapan informasi di papan proyek juga dapat menjadi temuan audit BPK atau Inspektorat, karena dianggap menghalangi transparansi publik terhadap pelaksanaan proyek yang dibiayai APBN.
Ironisnya, saat tim media dan LSM melakukan kontrol sosial dan dokumentasi proyek di lokasi irigasi tersebut, justru dihalangi oleh seseorang bernama Rudi yang mengaku sebagai penanggung jawab kegiatan.
Rudi melarang wartawan mengambil foto di area proyek dengan alasan yang tidak jelas.
Padahal, kegiatan jurnalis dan lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan pengawasan publik dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 4 ayat (3) UU tersebut menegaskan:
“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Tindakan menghalangi tugas jurnalis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan dapat diproses sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers, dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut oleh tim media dan LSM KPK Nusantara, akhirnya terbongkar bahwa Rudi yang sebelumnya mencegat wartawan dan melarang pengambilan foto ternyata merupakan pelaksana proyek tersebut.
Fakta ini semakin memperkuat dugaan adanya ketidakterbukaan dan upaya menutupi informasi publik terkait proyek rehabilitasi jaringan irigasi tersebut.
“Temuan ini membuktikan bahwa benar adanya dugaan ketidakterbukaan. Dari awal, papan proyek sudah tidak mencantumkan nama pelaksana, dan ternyata orang yang menghalangi wartawan justru pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek,” ungkap Aminudin, Ketua LSM KPK Nusantara Banten, kepada wartawan.
Menurut Aminudin, hal ini mencederai semangat transparansi publik dan melanggar aturan hukum yang berlaku.
“Kalau proyeknya benar dan terbuka, kenapa takut dicantumkan siapa pelaksananya? Ini bisa menimbulkan dugaan bahwa ada yang ditutupi,” tegasnya.
Aminudin menegaskan bahwa pihaknya akan segera melayangkan surat resmi ke BBWS C3 dan Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR untuk meminta klarifikasi serta menuntut tindakan tegas terhadap pihak pelaksana proyek.
Publik pun berharap BBWS C3 segera memperbaiki papan proyek dan membuka secara transparan siapa pelaksana dan konsultan pengawas kegiatan yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah tersebut.
Keterbukaan informasi bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap penggunaan dana publik.
“Setiap proyek pemerintah wajib transparan, karena uang yang digunakan adalah uang rakyat,” ujar salah satu pemerhati kebijakan publik di Serang.
Kasus ini menjadi gambaran masih lemahnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proyek infrastruktur daerah.
Sikap tertutup terhadap media dan LSM hanya akan memperkuat dugaan publik bahwa ada hal-hal yang tidak beres dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Media dan masyarakat berhak menuntut keterbukaan dan kejelasan atas setiap proyek pemerintah yang menggunakan anggaran negara, agar kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pembangunan tidak terus tergerus.
(SUARA INDEPENDEN JURNALIS INDONESIA)

 


 
 
 
 
 
 
